Dan inilah Timika…
Sebuah kota dengan warna-warni kehidupan…
Disini, sebuah ciri-ciri kota international bisa terlihat begitu menyakitkan.
Dimulai ketika kau memasuki bandara Timika yang baru jadi 3 bulan lalu itu, sampai nanti ketika kau pulang ke habitatmu, hitunglah, dan kau akan kaget begitu banyak bahasa yang pernah kau dengar digunakan di sini selain bahasa indonesia. ada bahasa jawa, bali, sunda, tegal, manado, ternate, bercampu-campur dengan bahasa inggris, spayol, belanda, kamoro, kadang-kadang kau bahkan hanya menebak-nebak bahasa yang digunakan seseorang dengan hanya mendengarkan aksen dan sedikit memperrtimbangkan antropologi perwajahan. Ketika bahasa yang berbeda-beda itu bertemu kemudian yang muncul dan hidup adalah komunikasi bahasa yang mutakhir dan menggelitik perut. ada bahasa jawa yang kebali-bali-an, ada bahasa inggris yang ke-manado-manado-an, ada bahkan bahasa kamoro yang ke spanyol-spanyolan.
bukankah ini yang terjadi di sebuah kota International…
Orang-orang dari berbagai negara: surabaya, bandung, jakarta, makassar, ambon, dan ratusan negara lain dalam wilayah indonesia serikat bertemu dengan orang-orang dari negara cina, german, australia, swiss, dan masih banyak lagi. berinteraksi. hidup. rukun dalam hubungan multilateral yang nyaman.
Aduhai, Kota siapa gerangan ini…
Demikian kayakah hingga orang ingin menguji nasib di sini?….
Banyak yang mengklaim sebagai suku asli papua. yang menjadi pemilik keseluruhan tanah dan hasil tanah di suatu distrik, ada yang mengaku suku pewaris tunggal provinsi ini, ada yang sampai berani mengklaim sebagian wilayah papua nugini, ada bahkan sampai mengklaim seluruh pulau adalah milik sukunya atas nama adat.
pembicaraan ini tidak mengenai itu…
Dari suku manapun, semua orang papua punya ID card yang yang tak bisa dicuri atau ditiru orang dari negara lain. mereka berkulit hitam dan berambut keriting. sebuah ciri khas yang juga dimiliki orang afro-amerika, dan orang afrika. demi melihat seseorang dengan ciri tersebut di papua, kita akan langsung mengenalinya sebagai orang papua. ya! papua saja, tanpa embel-embel biak, kamoro, enaro, morotai, dan lain-lain. mereka adalah orang-orang pemilik asli papua, pemilik asli timika, pemilik asli tembagapura, pemilik asli emas dan kandungan bahan tambang yang melimpah ruah di diperut dan lapisan-lapisan lemak burung ini. bulu-bulu burung ini pun seyogyanya milik mereka juga. bulu-bulu burung yang dicabuti beramai-ramai oleh orang-orang dari negara asing. ironisnya banyak juga orang-orang berambut keriting dan berkulit hitam itu yang mencabuti bulu-bulu burung itu demi menerima upah dari penjajah. demikian miskin mereka hingga rela menyakiti diri.
Kota timika adalah salah satu bagian dalam drama klasik penjajahan oleh korporasi seperti ini. bersama-sama masyarakat di daerah kaya-daerah kaya yang lain, rumah mereka, sekumpulan kayu yang dibentuk menjadi model kerucut yang dibalut ijuk ternyata menyimpan harta berlimpah yang menjadi target operasi para maling (nasional & international). mereka dipaksa tunduk. suku-suku dibikin sangat primodi. konflik di pelihara. uang dijadikan sembahan baru yang mampu menggeser mereka dari kepercayaan sesat animisme zaman purba. orang-orang diajari menjadi kuli. dan fasilitas-fasilitas khusus di berikan pada mereka yang mau bekerjasama dalam skandal busuk penjajahan gaya baru itu.
sialnya lagi, orang timika (sebagaimana orang papua pada umumnya) adalah orang-orang yang kaya sejak lahir. mereka dihidupi alam dari dulu, kekayaan bagi mereka adalah hal yang lumrah. mau makan, tinggal tanam. mau minum tinggal gali. mau apa saja alam baik hati adanya. mereka tak mengenal kertas warna-warni yang dipakai orang bertransaksi. dalam menyelesaikan konflik mereka memakai babi, dalam melamar gadis mereka memakai hasil bumi dan tentunya beberapa ekor babi. hidup mereka adalah hidupnya rakyat di kerajaan kaya dengan raja yang bijaksana. tapi kini korporasi memaksa mereka berkeringat untuk mendapatkan ubi dari tanah mereka sendiri.
Penjajahan ini telah terjadi demikian panjang dan seiring waktu, penjajahan menjadi semacam budaya baru. tak heran meskipun pada kenyataannya jumlah penjajah hanya akan semakin sedikit, kaum terjajah datang dari mana-mana, siap dijajah dulu untuk, siapa tahu, nasib membuatnya bisa menjadi penjajah. kecil-kecilan memang. mungkin hanya demi menjadi kepala persatuan masyarakat makassar, atau manado yang bisa dipatuhi seluruh sukunya yang merantau kesini, atau mungkin supervisor di salah satu perusahaan rekanan freeport yang bisa mengatur-ngatur hidup 20 orang anak buahnya, atau bahkan sekedar menjadi kepala bagi keluarga besarnyanya dikampung yang bebas menentukan siapa diantara anak saudara-saudaranya yang pertama di sunat, atau menjadi penentu tanggal pernikahan kakaknya. semuanya tergiur menjadi penjajah. dan seperti kata Marx saya:
“penjajahan adalah candu”
maka, ketika kau berada di bandara Mozes Kilangin, dengan tiket ke rumah di genggaman. kau akan mendengarkan bermacam-macam bahasa penjajah, tergantung penjajah dari mana yang beruntung kau temui. Dan ketika pesawatmu meninggalkan landasan kau akan mengenang kota timika jauh lebih banyak daripada sebuah kota penghasil emas.
aku melihatnya sebagai sebuah kota Internasional…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar